Rasanya Ingin Terbangun 24 Jam Lamanya: Sebuah Rahasia Kecil

29 Desember 2019 pukul 02.07

Entah apa yang ada dipikiranku, beberapa minggu ini pasti selalu tidur lebih dari jam 01.00 dini hari. Entah waktuku dihabiskan dengan scrolling e-commerce kesayangan, mencari barang yang ingin dibeli tapi gak terlalu diperlukan, atau berselancar di Twitter melihat dan turut membalas postingan-postingan random warganet hingga mata tak sanggup lagi menahan kantuk.

Waktuku hanya untuk rebahan

Beberapa hari lagi akan memasuki tahun baru, rasanya aku ingin sekali bercerita mengenai kegiatan yang aku lakukan selama hampir setahun terakhir ini. Walau pada akhirnya tertunda karena apa yang mau aku ceritakan ketika pekerjaan utamaku adalah rebahan?

Aku melihat jam dan tanggal di handphoneku, ternyata tak terasa sudah dipenghujung tahun lagi. Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk aku bercerita mengenai tahun 2019.

Inilah kisahku

Awal tahun ini, adalah awal yang bisa dibilang ringan tapi berat. Ingin rasanya aku ceritakan secara gamblang mengenai segala masalah yang aku hadapi hingga aku sadar, untuk apa? Baiknya orang lain hanya tahu yang baik saja, hidupku bukan untuk dikasihani.

Berawal dari

Semenjak kehadiran putriku, hidupku benar-benar berubah drastis. Jadi lebih mellow, lebih pendiam, bahkan lebih introvert. Bagi teman-teman yang sudah mengenalku lebih dari setahun akan tertawa ketika aku bilang kalau aku anak yang pemalu dan introvert. Terkadang aku bingung, sebenarnya aku ini apa dan kenapa?!!

Selama hampir 2 tahun kelahiran putriku, aku gak pernah memenuhi ajakan sahabatku untuk bertemu. Sesekali saja setelah itu aku jarang sekali mengiyakan ajakan mereka.

Pasti banyak yang mempertanyakan hal ini. Kok bisa sih Irra yang ekstrovert itu ternyata dia introvert. Bisa, memang bisa. Karena mungkin aku ini memang introvert. Aku gak nyaman bicara sama orang yang baru aku kenal, tapi bisa saja aku cerita dengan antusias sama orang yang baru aku kenal. Aku takut keluar rumah, bisa berminggu-minggu aku mengurung diri di rumah, bisa juga berhari-hari aku pergi bertemu orang banyak. Ah, entahlah kenapa aku ini.

Ternyata..

Belakangan aku mulai memahami tentang apa yang terjadi padaku yang pada akhirnya membawa aku menemukan jawaban dari semua pertanyaan ini. Ternyata aku masih takut untuk menerima kenyataan.

Butuh waktu hampir dua tahun untukku ikhlas menerima dan akhirnya menunjukkan keistimewaan yang anakku miliki kepada orang lain. Yang bahkan dulu, aku tidak berani menunjukkannya walau kepada sahabatku sekalipun.

Bagi yang mengenalku, pasti sudah tahu kalau aku melahirkan anak prematur dengan berat 2 kg dan turun hingga menyentuh 1,6 kg, hingga diusianya yang ke-15 bulan ia harus menghadapi operasi pertamanya. Aku sempat merasa gagal menjadi seorang ibu. Perasaan sayang setengah mati yang biasa ibu muda lain tunjukkan, tidak ada padaku. Aku rela membiarkan anakku menangis tanpa ada perasaan bersalah. Entah ibu macam apa aku ini.

Selama hampir 2 tahun ini, aku selalu setengah hati menyayangi anakku. Aku terlalu marah, entah marah sama siapa. Aku, suamiku, anakku, Tuhan atau keadaan. Yang pasti aku benci sekali.

Little secret

Anakku lahir prematur dengan kondisi fisik yang aku takutkan. Selama hamil, aku selalu berfirasat anakku akan terlahir dengan fisik yang tidak sempurna. Aku sampai bertanya sama sahabatku yang sudah memiliki anak terlebih dulu, mengenai kekhawatiran melahirkan anak yang tidak sempurna. Aku selalu terbayang kondisi yang tidak sempurna, hingga setiap kali membayangkan aku selalu berdoa dan berdoa meminta untuk dilengkapkan segala sesuatunya.

Entah apa yang direncanakan Tuhan, ternyata ketakutanku selama hamil terwujud, doaku tidak dijabahnya. Anakku terlahir dengan kondisi fisik yang istimewa, polidaktili dan mikrotia. Sungguh, aku gak tau harus bagaimana dalam berperasaan. Hingga akhirnya aku jadi setengah hati.

Karena itu

Inilah alasan yang membuatku enggan untuk bertemu dengan sahabat-sahabatku, tetangga atau bahkan keluarga besar. Aku takut anakku dijadikan bahan olokan.

Selama hampir 2 tahun ini aku menyembunyikan itu semua hingga akhirnya aku lelah. Lelah harus merasa malu menutupi itu semua ketika sedang berbincang dengan orang lain. Sedih ketika melihat anakku yang lucu dan pintar itu bertingkah seolah semua itu bukan masalah.

Hingga akhirnya

Sedikit-sedikit aku mulai menerima kondisi fisik yang ia miliki. Aku mulai mencintainya sepenuh hati. Aku mulai menunjukkan siapa anakku, anak yang terlahir dengan cacat fisik tetapi bisa menunjukkan kalau kondisinya bukanlah akhir dari segalanya.

Sekarang

Aku mulai bisa menutup tahun 2019 dengan keberanian. Aku bisa mencintai anakku dengan sepenuh hati. Aku bisa dan bahkan mulai terbiasa melihat orang-orang terdekatku melihat kelebihan yang anakku miliki, menbebaskan anakku dari segala penutup yang sengaja aku pakaikan dalam kondisi apapun yang penting kelebihannya tertutupi. Walau entah apa yang mereka akan bicarakan dengan pasangannya setelah melihat kondisi fisik anakku, yang pasti aku tak mau dengar dan tak mau peduli. Aku mencintai anakku sepenuh hatiku.

***

Sekarang 29 Desember 2019 sudah pukul 02.41, aku sudah ingin mengakhiri curahan hati ini. Butuh waktu 35 menit untuk menulis rahasia yang sudah sedari dulu ingin aku bagikan.

Tulisan yang sangat ingin aku bagikan untuk semua pembaca dan membeberkan rahasia kecilku. Semoga setelah menulis ini bebanku semakin berkurang dan ikhlasku semakin bertambah.

Wassalam.

Comments 1

  • Hai Mbak Irra, melihat anak Mbak Irra berumur 2 tahun bisa jalan sendiri, fotonya nampak sehat, kurasa anak dengan polidaktili dan mikrotia sebetulnya bukan hal yang mesti dikhawatirkan terlalu banyak. Aku punya kolega sesama dokter yang juga polidaktili. Dan aku juga punya teman SMA yang mikrotia. Mereka baik-baik saja.
    Berbesarlah hati, Mbak Irra. 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *